Sabtu, 27 Mei 2017

ALIRAN QADARIYAH



ALIRAN QADARIYAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Kalam
Dosen Pengampu: Siti Munawaroh Thowaf



Disusun oleh :
Sani Atuzzulfa (1604026016)
Ika Fatkhiatul Azizah (1604026017)
Nur Faizah (1604026019)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
         Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran yang berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama kalam dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qadariyah dan Jabariyah.
Aliran Qodariyah merupakan kelompok yang tidak mempercayai adanya ketetapan Allah SWT terhadap suatu hal atau perkara. Mereka mempunyai kebebasan untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki seperti halnya melakukan perbuatan baik ataupun jelek untuk menentukan nasib hidupnya, bahagia atau sengsara. Sejarah lahirnya Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan diuraikan tentang bagaimana sejarah munculnya aliran Qadariyah beserta argumen-argumennya.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa Pengertian Qadariyah?
2.  Bagaimana latar belakang munculnya Qadariyah?
3.  Bagaimana paham Qadariyah?
4.  Bagaimana pendapat Qadariyah?
C.    Tujuan
1.  Menjelaskan pengertian Qadariyah.
2.  Menjelaskan latar belakang munculnya Qadariyah.
3.  Menjelaskan paham Qadariyah.
4.  Menjelaskan pendapat Qadariyah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Qadariyah
            Dalam pengertian bahasa, Qadariyah berasal dari kata bahasa Arab “qadara” yang mempunyai arti yaitu kuasa atau mampu, memuliakan atau mulia, ketentuan atau ukuran, dan menyempitkan. Menurut istilah, Qadariyah adalah kelompok yang menolak qadar (ketetapan Tuhan), yaitu kelompok yang tidak percaya adanya ketetapan Tuhan terhadap segala urusan atau perkara. Mereka menolak kepercayaan bahwa Allah SWT telah menetapkan segala urusan sebelum diciptakan.
            Dalam tinjauan filosofis, manusia bebas dan merdeka menentukan nasib perjalanan hidupnya, bahagia atau sengsara, menjadi orang sesat atau mendapat hidayah, memilih surga atau neraka. Menurut aliran ini, tiap-tiap hamba Allah SWT adalah pencipta bagi segala perbuatannya, dia dapat berbuat segala sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islami, dikemukakan pendapat yang sama dengan ungkapan di atas bahwa aliran Qadariyah adalah golongan yang berpegang pada kebebasan manusia memilih dalam tindakannya dan merdeka dalam berkehendak.
            Pemberian nama Qadariyah bagi golongan ini, ternyata tidak disukai oleh para pengikutnya. Menurut sebagian dari mereka, nama Qadariyah tidak pantas bagi mereka, karena mereka menolak adanya qadar. Justru kelompok yang percaya dan menetapkan adanya qadarlah yang paling berhak memakai nama itu. Maksud mereka, golongan Jabariyah yang percaya penuh pada qadar Allah SWT yang berhak menyandang nama itu.
            Sebagian besar orang berpendapat asal-usul nama Qadariyah menjadi nama bagi golongan ini karena mereka menolak adanya qadar Allah dan menetapkan qadar bagi mereka. Sebagian lain berkata, tidak ada larangan menamai sesuatu dengan menggunakan nama yang bertentangan dengan isi nama itu sendiri.[1]

B.     Latar Belakang Munculnya Qadariyah
            Ada perbedaan pendapat mengenai latar belakang kemunculan aliran Qadariyah. Menurut Harun Nasution, kemunculan Qadariyah erat kaitannya dengan masalah perbuatan manusia bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Berbeda dengan Jabariyah, aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas dasar kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai qudrah untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
            Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbulnya paham ini, Qadariyah muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul perdebatan tentang qadar dan ketetapan Tuhan. Terkait penolakan terhadap qadar ini, para ulama Salaf dan para Imam telah membantah pendirian kaum Qadariyah, Jabariyah dan bid’ah-bid’ah kedua golongan ini.
            Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis kitab Syahral ‘uyun mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah penduduk Irak. Pada mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi mengambil paham Qadariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan Masehian mempengaruhi munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin bersentuhan langsung dengan penganut agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya, muncul pengaruh penafsiran Israiliyat terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
                  Sesuai pendapat di atas, Abu Zahrah lebih cenderung tidak merinci dan tidak memastikan asal, timbul dan berkembangnya paham Qadariyah. Menurut Abu Zahrah, para ahli sejarah pemikir Islam telah meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah sebenarnya yang pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Hanya saja, pedoman umum yang dapat dijadikan pegangan adalah bahwa Basrah dan Iraklah tempat timbulnya dan berkembangnya paham Qadariyah.
            Abu Zahrah kemudian menyimpulkan bahwa kaum muslimin pada akhir masa Khulafaurasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah qadla’ dan qadar. Sekelompok umat Islam sangat berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi manusia, mereka adalah kaum Jabariyah. Sedangkan kaum Qadariyah juga sangat berlebihan dengan pendapatnya bahwa semua perbuatan manusia adalah murni keinginan manusia yang terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.
            Namun demikian, meski para pakar berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad al-Juhani adalah orang yang pertama kali di kalangan muslimin yang menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.[2]
C.    Paham Qadariyah
            Sebutan qadariyah sebenarnya merupakan ejekan terhadap pendapat mereka, berdasarkan Hadits Nabi yang artinya : “Kaum Qadariyah adalah Majusi Umat ini (Umat Islam)”. Demikian pula Hadits lain yang artinya : “Golongan Qadariyah itu merupakan golongan yang menentang Allah dalam masalah qadar”.
            Dikatakan Majusinya umat Islam karena berpendapat bahwa Allah itu hanya berbuat baik saja, sedang yang membuat kejahatan/keburukan adalah manusia atau syaithon. Faham ini menimbulkan adanya dua pencipta, sebagaimana dalam agama Majusi (Zoroaster), yaitu mempercayai adanya Tuhan kebaikan dan Tuhan kejahatan.[3]
            Riwayat Qadariyah ini sangat pendek, karena tokoh-tokohnya mati terbunuh dan terlibat politik. Meskipun secara formil Qadariyah sudah tidak ada, namun pokok pikirannya masih berkembang dan diteruskan oleh golongan Mu’tazilah. Oleh sebab itu, golongan Mu’tazilah sering juga disebut Qadariyah. [4]
            Imam Al Asy’ari memandang bahwa paham Qadariyah atau Mu’tazilah adalah pengikut hawa nafsu, yang bertaqlid kepada pemimpin-pemimpinnya, paham ini telah menyimpang dari kebenaran. Sedang Abdul Qohir al Baghdadi menilai bahwa paham Qadariyah mengandung unsur-unsur bid’ah. Adapun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa paham Qadariyah dan orang yang sepaham adalah salah, begitu pula orang-orang yang menentangnya seperti Jahm ibnu Sofwan dan pengikut-pengikutnya, sebab mereka tidak mengakui kebijaksanaan Allah di dalam ciptaanNya, perintah-perintahNya, apalagi mereka menafikan belas kasih Allah kepada hamba-hambaNya.
            Kritik dan pendapat terhadap Qadariyah seperti di atas dapat dipahami, mengingat apabila kita perhatikan ajaran-ajaran Qadariyah, memang sangat berlebihan di dalam memberikan kemerdekaan kemauan dan berbuat bagi manusia, sehingga menghilangkan sama sekali Qudrat dan Iradat Allah. Hal ini karena tinjauannya hanya kepada ayat-ayat ikhtiari saja serta memahaminya dengan kekuatan akal pikiran semata, tanpa memperhatikan ayat-ayat yang menunjukkan adanya kekuasaan Tuhan. Apabila meninjau ayat-ayat al-Qur’an secara menyeluruh, kiranya tidak akan berpendapat demikian.[5]
            Paham Qadariyah menyebutkan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan seluruh perbuatan baik dan jelek atas kehendak dan dayanya sendiri. Dari paham ini dapat disimpulkan bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat kebaikan atau kejahatan. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.[6]
D.    Pendapat Qadariyah
            Golongan Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam berbuat dan bertindak. Manusia berkuasa menetapkan perbuatan-perbuatannya sendiri. Allah SWT tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak juga hewan. Kehidupan bukan hasil ciptaan dan kekuasaan Tuhan.
            Menurut Ghailan, murid Ma’bad, manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukannnya, atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
            Mereka berkata :” kalau Tuhan adil, maka Dia akan menghukum orang yang salah dan memberi pahala orang yang berbuat baik. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri, memilih perbuatan mana yang baik dan mana pula yanag buruk. Kalau Tuhan telah menentukan nasib manusia, berarti Tuhan dzalim. Oleh karena itu, manusia harus bebas memilih perbuatannya, manusia harus mempunyai kebebasan kehendak”.
Adapun pendapat-pendapatnya yang lain adalah :
1.         Bahwa Kalamullah (al-Qur’an) itu baru, oleh sebab itu adalah makhluk. Mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan akal semata-mata, tidak mengambil dari hadits Rasulullah maupun pendapat Salaf.
2.         Mereka mengingkari adanya syafaat Nabi terhadap orang-orang yang berdosa, serta menolak riwayat dari ulama Salaf tentang masalah tersebut.
3.         Menafikan sifat-sifat Allah yang azali, seperti Ilmu, Kudrat, Hayat, dan lain-lain, juga menolak riwayat bahwa manusia dapat melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat nanti. Demikian pula menolak adanya siksa kubur.
4.         Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah hanya berbuat baik saja, sedang yang membuat buruk/jahat adalah syaithon.
5.         Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
            Dari pendapat-pendapat di atas dapatlah diketahui bahwa golongan Qadariyah sangat menghargai akal pikiran manusia. Menempatkan ikhtiar manusia dalam status yang tinggi, yang menentukan segala perbuatannya, menentukan nasib bagi dirinya. Pahamnya tentang qadar ini bertentangan dengan paham jabariyah yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu, aliran Qadariyah ini mendapat tantangan yang keras. Pemerintah memandang ajaran Qadariyah sangat berbahaya, sehingga harus dibasmi dan tokoh-tokohnya ternyata dapat dibunuh.[7]
         
         

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Beberapa pakar berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah. Akan tetapi, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad al-Juhani adalah orang pertama di kalangan muslimin yang menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.
            Paham Qadariyah menyebutkan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan seluruh perbuatan baik dan jelek atas kehendak dan dayanya sendiri. Dari paham ini dapat disimpulkan bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
       Ajaran-ajaran Qadariyah memang sangat berlebihan di dalam memberikan kemerdekaan kemauan dan berbuat bagi manusia, sehingga menghilangkan sama sekali Qudrat dan Iradat Allah. Hal ini karena tinjauannya hanya kepada ayat-ayat ikhtiari saja serta memahaminya dengan kekuatan akal pikiran semata, tanpa memperhatikan ayat-ayat yang menunjukkan adanya kekuasaan Tuhan. Apabila meninjau ayat-ayat al-Qur’an secara menyeluruh, kiranya tidak akan berpendapat demikian.
 Wallahu a’lamu bi al showaab.
           








DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Nunu. 2016. Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Ishak, Muslim. 1988. Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam. Semarang: Duta Grafika.




[1] Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016).
[2] Nunu Burhanuddin, Ibid.
[3] Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, (Semarang: Duta Grafika, 1988), hlm 52-53.
[4] Muslim Ishak, Ibid, hlm 51.
[5] Muslim Ishak, Ibid, hlm 53.
[6] Nunu Burhanuddin, opcit.
[7] Muslim Ishak, Ibid, hlm 51-52.


1 komentar:

  1. WynnBET - Casino in Las Vegas NV | JT Hub
    Join the fun 김포 출장마사지 at 공주 출장안마 WynnBET Casino in Las Vegas, NV and experience the excitement of Las 김해 출장안마 Vegas 울산광역 출장안마 for a 과천 출장안마 first-class casino gaming experience.

    BalasHapus

FILSAFAT SAINS DAN ISLAM

SAINS DAN ISLAM A.     PENGERTIAN SAINS DAN ISLAM Sains atau mu’alam (bahasa Inggris : natural science ) adalah istilah yang di...