Sabtu, 27 Mei 2017

HADITS MURSAL



HADITS MURSAL
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Mokhammad Sya’roni, M.Ag.



Disusun oleh:
Ahmad Fauzi Almubarok (1604026014)
Muhammad Nailul Rifqi (1604026015)
Sani Atuzzulfa (1604026016)


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Membahas tentang hadits, banyak sekali pembagian dari hadits itu sendiri, ada pembagian hadits yang berdasarkan jumlah sanadnya, persambungan sanadnya, kualitas sanad dan matannya, tempat penyandarannya, kedudukan hujjah dan sifat sanadnya.
Hadits dilihat dari segi persambungan sanadnya dibagi menjadi enam, yaitu hadits Musnad, hadits Muttashil, hadits Munqathi’, hadits Mu’allaq, hadits Mursal, dan hadits Mudallas. Sebab ke-dhaif-an suatu hadits bisa ditinjau dari segi gugurnya perawi dan dari segi cacatnya perawi. Hadits Mursal sendiri merupakan bagian dari hadits dhaif apabila ditinjau dari gugurnya perawi. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang hadits Mursal pada bab-bab selanjutnya.


B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian hadits Mursal?
2.    Bagaimana contoh hadits Mursal?
3.    Bagaimana status hukum hadits Mursal?

C.      Tujuan
1.    Menjelaskan pengertian hadits Mursal.
2.    Menjelaskan contoh hadits Mursal.
3.    Menjelaskan status hukum hadits Mursal.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hadits Mursal
Dari segi bahasa, Mursal berasal dari Isim Maf’ul yang diambil dari kata الإرسال yang diartikan  terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. Hadits dinamakan mursal karena sanad-nya ada yang terlepas atau gugur di kalangan sahabat atau tabi`i. Dalam istilah,  al Mas’ûdi  memberikan definisi   :
هو ما رَفعَهُ التَّابِعي ولو حُكْمًا الى النبيِّ صلى الله عليه وسلم 
Hadits yang disandarkan oleh seorang tabi’i sekalipun secara hukum kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi`i dari Nabi tanpa menyebutkan penghubung seorang sahabat. Karena secara logika memang tidak mungkin seorang tabi’i bertemu Rasul dan meriwayatkan hadits, yang bertemu Rasul adalah sahabat. Dalam periwayatan hadits Mursal tanpa menyebutkan nama seorang sahabat, atau periwayatan Mursal terjadi antar sahabat. Misalnya, seorang sahabat A sebenarnya meriwayatkan hadits dari sahabat B, dan sahabat B ini yang meriwayatkan hadits dari Rasul. Tetapi kemudian sahabat A berkata meriwayatkan hadits dari Nabi tanpa menyebutkan sahabat B. Inilah yang dimaksudkan definisi di atas periwayatan tabi’in secara hukum.
Periwayatan Mursal antar para sahabat disebut Mursal Shahabi dan periwayatan Mursal yang terjadi pada seorang tabi’i sebagaimana dalam definisi di atas disebut Mursal Tabi’i. Di antara buku-buku tentang Hadits Mursal yaitu al-Marâsîl karya Abu Dawud dan al-Marâsîl karya Ibn Abi Hatim.[1]   
B.       Contoh Hadits Mursal
1.         Mursal Tabi’i
Kata Ibn Sa`ad: memberitakan kepada kami Waki` bin al-Jarrah, memberitakan kepada kami al-A`masy dari Abi Shalih berkata: Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ياأيُّهَا الناسُ إنِّما أنا رحمةٌ مُهْداةٌ
Wahai manusia sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.
Abi Shâlih al-Samân al-Zayyât adalah seorang tabi`i, menyandarkan berita Hadits tersebut dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam tanpa menjelaskan perantara seorang sahabat yang menghubungkan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.
2.         Mursal Shahabi
Seperti periwayatan Ibn Abbas berikut ini,                                             
حديث ابن عباس : أن رسول الله صلي الله عليه وسلم خرج الي
مكة عام الفتح فصام حتي بلغ الكديد ثم أفطر فأفطر الناس
            Pada saat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam perjalanan, sahabat Ibn Abbas tidak sedang bersama Rasulullah melainkan sedang berada di Mekkah. Oleh karena itulah Sahabat Ibn Abbas tidak menyaksikan kisah itu secara langsung dan ia hanya mendengar dari sahabat yang lain.
Demikian juga   Abu Hurairah yang terbanyak meriwayatkan Hadits, ia sering hanya menukil dari sahabat senior, tetapi langsung mengatakan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini dan seterusnya.[2]
C.      Hukum Hadits Mursal
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum hadits Mursal, yang paling masyhur terdapat empat pendapat mengenai status hukum kehujjahannya, antara lain :
1.      Boleh dijadikan hujjah secara mutlak jika yang me-mursal-kannya adalah seorang yang dipercaya keadilan dan kedhabitannya, ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad ibn Hambal dan ulama’ lain.
2.      Hadits Mursal para tabi’i senior dapat diterima dan dijadikan hujjah apabila terdapat hadits Mursal dari jalur lain, atau dibantu dengan perkataan sahabat, ini merupakan pendapat dari Imam Syafi’i
3.      Tidak boleh dijadikan hujjah karena merupakan bagian dari hadits Dho’if dan tidak diketahui sanad yang hilang antara tabi’i dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, apakah cuma satu ataukah banyak, apakah tsiqqoh ataukah tidak, ini merupakan pendapat dari mayoritas ulama’ Muhaddisin karena lebih berhati-hati.
4.      Pendapat yang keempat yaitu di tafsil. hukum Mursal Tabi`î dapat dijadikan hujjah baik dalam hukum maupun dalam hal lain, jika yang me-mursal-kannya  seorang yang dipercaya keadilan dan ke-dhabith-annya (tsiqah). Karena orang tsiqah tidak mungkin me-mursal-kan hadits kecuali dari orang tsiqah pula. Sedangkan kehujjahan Mursal Shahabi menurut mayoritas muhadditsîn: shahih dapat dijadikan hujjah, karena para sahabat semua bersifat adil dan periwayatan sahabat sangat langka dari tabi`in.[3]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi`i dari Nabi tanpa menyebutkan penghubung seorang sahabat. Periwayatan Mursal antar para sahabat disebut Mursal Shahabi dan periwayatan Mursal yang terjadi pada seorang tabi’i disebut Mursal Tabi’i.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum hadits Mursal, diantaranya yaitu boleh dijadikan hujjah (jika yang me-mursal-kannya adalah seorang yang dipercaya keadilan dan kedhabitannya), dapat diterima dan dijadikan hujjah (apabila terdapat hadits Mursal dari jalur lain atau dibantu dengan perkataan sahabat), tidak boleh dijadikan hujjah (karena merupakan bagian dari hadits Dho’if dan tidak diketahui sanad yang hilang antara tabi’i dan Rasulullah), dan Mursal Tabi`î dapat dijadikan hujjah baik dalam hukum maupun dalam hal lain (jika yang me-mursal-kannya  seorang yang dipercaya keadilan dan ke-dhabith-annya/tsiqah). Wallahu a’lamu bi al showaab.



DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. 2010. Ilmu Hadits Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI.
Sattar, Adul. 2015. Ilmu Hadits. Semarang: Rasail Media Group.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2015. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Kalimedia.



[1] Abdul Majid Khon, Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI, (t.k: t.p, 2010), hlm 76.

[2] Adul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2015), hlm 31.
[3] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm 67.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT SAINS DAN ISLAM

SAINS DAN ISLAM A.     PENGERTIAN SAINS DAN ISLAM Sains atau mu’alam (bahasa Inggris : natural science ) adalah istilah yang di...