Selasa, 06 Juni 2017

'AM WA KHASH



‘AM DAN KHASH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.Ag


Disusun oleh :
Sani Atuzzulfa (1604026016)
Lutfiana Suci Istiqomah (1604026006)


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh. Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman umat Islam dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting untuk diketahui adalah istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya yaitu lafadz ‘am dan lafadz khash. Oleh karena itu, untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang lafadz ‘am dan lafadz khash, makalah ini akan membahas lafadz-lafadz tersebut secara lebih mendalam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian ‘am?
2.      Apa saja lafadz-lafadz yang menunjukkan makna ‘am?
3.      Apa Pengertian khash?
4.      Apa saja pembagian mukhasis?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ‘Am
Secara etimologis ‘am berarti mencakup dan meliputi. Sedangkan secara terminologis (istilah) ushul fiqh yaitu :
اللفظ المستغرق لجميع ما يصلح له بحسب وضع واحد.
“Lafadz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu kata.”
Menurut Abdul Wahab Khallaf ’am yaitu lafadz yang menunjukkan kepada makna lughawi yang mencakup kepada semua satuan pengertian, yang maknanya itu sesuai tanpa pembatasan kata tertentu darinya.[1]
B.     Lafadz-Lafadz yang Menunjukkan Makna ‘Am
1.      Suatu lafadz yang diidhafatkan kepada makrifah (المعرف بالاضافة)
Seperti firman Allah:
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا (ابراهم 34)
 “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya.” (Q.S Ibrahim: 34)
Lafadz yang diidhafatkan di atas ialah   نِعْمَتَ اللهِ.
2.      ال, kata sandang bila masuk kepada isim jamak baik jamak salim , seperti firman Allah:
وَاللُه لاُيُحِبُّ اْلمُفْسِدِيْنَ (الميدة 67)
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Maidah: 67)
Atau jamak taksir, seperti:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ اْلوَالِدَانِ وَاْلاَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ...(النساء :7)
 “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian pula...” (Q.S. an-Nisa’: 7)
Jamak salim di atas adalah اْلمُفْسِدِيْن dan jamak taksir adalah الرِّجَال dan النِّسَاء.
3.      Isim mufrad yang dimasuki  الselainال  yang tersebut di atas yaitu yang dinamakan ال الجنسية.
Bila suatu kata dimasuki ال الجنسية maka setiap satuan dari kata itu masuk seluruhnya ke dalam kata itu seperti pada firman Allah:
وَاْلعَصْرِ اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ (العصر: 2 -1)
“Demi masa sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan rugi kecuali.......... dan seterusnya.” (QS. al-‘Ashr: 1-2)
4.      Isim-isim syarat, seperti:
a.       من, contohnya firman Allah:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة :185)
“Maka barang siapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. al-Baqarah: 185)
b.      ما, seperti:
وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍيُوَفَّ اِلَيْكُمْ (البقرة :272 )
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup.” }QS. al-Baqarah: 272)
c.       أيّ, seperti:
اَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلاَسْمَاءُ اْلحُسْنَي (الاسراء: 110)
"Dengan nama yang mana saja kamu seru, Ia mempunyai nama-nama yang terbaik." (QS.al-Isra’: 110)
d.      أين
اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ اْلمَوْتُ (النساء: 78)
"Di mana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu." (QS. an-Nisa’:78)
5.      Isim-isim maushul, seperti firman Allah:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة: 234)
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kmu dengan meninggalkan istri-istri hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah: 234)
6.      Isim nakirah dimasukkan dalam gaya nafi (negatif), nahyu (larangan) atau syarat, seperti firman Allah :
a.مَا اَنْزَلَ اللهُ عَلَي بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ( الانعام: 91)                                                           قَالُوْا
“Mereka berkata : Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” (QS.al-An’am: 91)
b. Firman Allah :
يَايُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا لاَيَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ (الحجرات:11 )
“Hai orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain.” (QS. Hujurat: 11)
c. Firman Allah :
يَايُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا اِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا (الحجرات :6)
“Wahai orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. al Hujurat : 6)
Isim-isim nakirah di atas adalah : - بشر نبأ - فاسق - قوم
7.      Isim nakirah yang diberi sifat dengan sifat umum seperti  عبد مؤمن pada firman Allah :
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ اَعْجَبَكُمْ (البقرة: 221)
“Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.” (QS.2 :221)
8.      Lafadz-lafadz  :
a.       معشر           b. معاشر            c. كافة               d. سائر              e. عامة
Contohnya:
a.       Firman Allah :
يَا مَعْشَرَ اْلجِنِّ وَاْلاِنْسِ اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ (الانعام :130)
“Hai golongan jin dan manusia apakah tidak datang kepadamu Rasul-Rasul dari golongan kamu sendiri.” (QS. al An’am: 130).
b.      Hadits Rasullulah Saw :
نَحْنُ مَعَاشِرُ اْلاَنْبِيَاءِ لاَنُوْرثُ (رواه أحمد)
“Kami para nabi tidak waris-mewaris.” ( H.R. Ahmad).
c.       Firman Allah :
وَقَاتِلُوا اْلمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَافَّةً (التوبة : 36)
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.” (QS. at Taubah: 36)
d.      Sabda Rasullullah Saw kepada Ghailan ketika ia masuk Islam bersama istri-istrinya 10 orang :
اَمْسِكْ اَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (رواه احمد والترمذي)
“Pegangi yang empat dan ceraikan selebihnya.” (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi)
e.       Seperti:
اَرْسَلَ اللَّهُ مُحَمّدًا رَسُوْلاً اِلَي النَّاسِ عَامَّةً
“Allah mengutus Muhammad menjadi Rasul kepada ummat manusia seluruhnya.”
9.      Kata yang di-idlafat-kan kepadanya kata كل dan جميع  baik nampak dengan jelas terbaca (  لفظ) atau tidak nampak ( معني ) karena ada tanwin iwadl seperti :
a.       Firman Allah :
(الطور: 21) كُلُّ اْمرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ
“Setiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. at Thur: 21).
b.      Seperti :
يُكَافَأُ جَمِيْعُ النَّاجِحِيْنَ بِخَمْسِمِائَةِ اَلْفِ رُوْبِيَةٍ
“Kepada semua yang lulus diberi hadiah lima ratus ribu rupiah.”
Atau sesudah dijelaskan lebih dahulu siapa-siapa yang lulus lalu di beri tahu :
يُكَافَأُ جَمِيْعُ بِخَمْسِمِائَةِ اَلْفِ رُوْبِيَةٍ
10.  Lafadz amar (perintah) yang ditujukan kepada jamak. Dalam hal ini umum dan khususnya tergantung dengan situasi yang diperintahkan itu. Contoh :
وَاَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَاَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ (البقرة: 43)
“Dan dirikanlah olehmu shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. al-Baqarah: 43).
Amar ini mencakup seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan, tetapi khusus untuk yang mukallaf (orang-orang yang dibebani hukum) dan mempunyai harta sampai nisab bagi yang wajib zakat.[2]
C.    Pengertian Khash
Khash secara etimologi artinya mengkhususkan atau menentukan. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan khash adalah:
مَالاَ يَتَنَاوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصَاعَدًا مِنْ غَيْرِ خَصٍ
“Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.”
Jadi, lafadz khash adalah lafadz yang menunjukkan pada suatu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad, atau suatu jenis seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafadz lain yang menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.[3]
D.    Pembagian Mukhasish
1.      Mukhasish Muttashil
Yaitu apabila makna satu dalil yang mengkhususkan berhubungan erat atau bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Macam-macam mukhasish muttashil :
a.       Pengecualian (al-istisna’)
Yaitu pengecualian dari yang sejenis (antara mustasna dan mustasna minhu). Contoh :
مَنْ كَفَرَ بِااللَّهِ مِنْ بَعْدِ اِيْمَانِهِ الاَّ مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلاِيْمَانِ (النحل: 106)
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman ( dia pasti mendapat kemurkaan Allah ) kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman ( dia tidak berdosa ).” (QS. an-Nahl: 106)
Jadi, antara mustasna, yaitu orang yang dipaksa kafir dan mustasna minhu, yaitu orang yang kafir sesudah beriman adalah sejenis dan satu urusan.
b.      Syarat, seperti firman Allah:
وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذَلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاَحَا (البقرة: 228)
“Dan suami-suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa menanti itu, jika mereka (suami dan isteri) itu menghendaki islah (perbaikan).” (QS. al-Baqarah : 228).
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali kepada istrinya. Maksudnya adalah dalam massa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud islah. Lafadz yang menunjukkan pada ayat tersebut adalah “jika” (  اِنْ). Bila syarat itu tidak ada, maka rujuk itu tidak diperbolehkan.
c.       Sifat, contoh firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً اَنْ يَنْكِحَ اْلمُحْصَنَاتِ اْلمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ اْلمُؤْمِنَاتِ
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” ( QS. an-Nisa’: 25)
Lafadz فتيات adalah ‘am yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata sifat المؤمنات (yang beriman), maka hamba sahaya tidak beriman tidak termasuk lagi.
d.      Sebagai ganti keseluruhan (بَدَلُ اْلبَعْضِ مِنَ اْلكُلِّ) artinya tidak seluruhnya terkena perintah, tetapi yang dikehendaki cukup dilaksanakan oleh sebagian saja.
Seperti firman Allah :
وَلِلَّهِ عَلَي النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً (ال عمران: 97)
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)
Yang menjadi badal (pengganti) ialah “orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”, sedangkan yang kull ( keseluruhan manusia) ialah siapapun juga para mukallaf.
e.       Kesudahan/hingga batas waktu atau tempat (الغاية) ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut sebelumnya, sedangkan yang disebut sesudahnya tidak terdapat hukum tersebut. Lafadz ghayah ada kalanya dipakai hatta (حتي) artinya sehingga, atau ilaa ( (الي yang artinya sampai. Contoh :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّي نَبْعَثَ رَسُوْلاً (الاسراء: 15)
“Dan kami tidak akan mengadzab (menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul.” ( QS. al-Isra’: 15)
Contoh lain:
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَي الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَي اْلمَرَافِقِ (الميدة: 6)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku ....” (QS. al-Maidah: 6)[4]
2.      Mukhasis munfashil
Mukhasis munfasil adalah dalil umum atau makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang megkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tetapi terpisah. Mukhasis munfashil ada beberapa macam :
a.       Al-Qur’an ditakhsis dengan al-Qur’an, contoh:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة:234)
“Dan mereka yang meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri-istrinya, maka mereka menunggu/menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.” (QS.al-Baqarah:234)
Ayat tersebut umum, yaitu tercakup istri-istri yang tidak hamil juga orang hamil. Maka, datang ayat lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
وَأُولاَتُ اْلاَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (الطلاق: 4)
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. at-Talaq: 4)
b.      Al-Qur’an ditakhsis dengan Sunnah, contoh:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu yang selain itu.” (QS.an-Nisaa’:24)
Ayat ini dikhususkan dengan sabda Rasulullah SAW:
لاَتُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ عَلَي عَمَّتِهَا
“Perempuan tidak boleh dinikahi bersama dengan bibinya dari saudara ayah dan bibinya dari saudara ibu.”
c.       Sunnah ditakhsis dengan Al-Qur’an, contoh:
لَايَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّي يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima sholat seorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudlu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits tersebut adalah umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi:
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam keadaan musafir/datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih.” (QS. al-Maidah: 6)
d.      Sunnah ditakhsis dengan Sunnah, contoh:
فيما سقت السماء العشر (رواه البخري والمسلم)
“Tumbuh-tumbuhan yang disirami air hujan, (zakatnya) seper sepuluh.”
Dikhususkan dengan hadits:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة (رواه البخري)
“Tidak wajib sedekah (zakat) pada barang yang kurang dari lima wasaq”.
e.       Qur’an atau Sunnah dengan Qiyas, contoh:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ .... الأية (النور: 2 )
Dikhususkan dengan ayat QS. an-Nisa’: 25
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَي اْلمُحْصَنَاتِ مِنَ اْلعَذَابِ....الاية (النساء: 25)
Dari ayat tersebut, kemudian hamba sahaya laki-laki diqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan, karena sama-sama hamba. Dengan demikian, hukuman bagi hamba sahaya laki-laki yang berzina adalah 50 kali dera (separuh dari hukuman yang wajib atas laki-laki merdeka).[5]
                           



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Lafadz ‘am adalah lafadz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu kata. Lafadz-Lafadz yang menunjukkan makna ‘am meliputi المعرف بالاضافة,  ال yang masuk dalam isim jamak, ال الجنسية yang masuk pada isim mufrad ,isim syarat, isim maushul, isim nakirah yang dimasukkan dalam gaya nafi,nahyu, atau syarat, isim nakirah yang diberi sifat umum, lafadz-lafadz معشر معاشر , , كافة, سائر,  عامة, kata yang diidhofatkan kepada كل dan جمع, dan lafadz-lafadz amar.
Sedangkan khas adalah sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas. Mukhasis dibagi menjadi dua, yaitu mukhasis muttashil dan mukhasis munfashil. Mukhasis muttashil terdiri dari istitsna muttashil, badal min kul, kata sifat, syarat dan ghayah. Sedangkan mukhasis munfashil terdiri dari takhsis al-Qur’an dengan al-Quran, al-Quran dengan Sunnah, Sunnah dengan Sunnah, Sunnah dengan al-Qur’an, dan takhsis dengan qiyas.




DAFTAR PUSTAKA
Mu’in, A, dkk, 1986, Ushul Fiqh II, Jakarta: t.p.
Muhammad al-Khudhari Biek, Shaikh, 2007, Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani.
Mardani, 2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.





                [1] Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013, h. 285-286.
[2] A. Mu’in, dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta: t.p, 1986, h. 8-15.
[3] Ibid., h. 6.
[4] Ibid., h. 17-20.
[5] Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, h. 408-417.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT SAINS DAN ISLAM

SAINS DAN ISLAM A.     PENGERTIAN SAINS DAN ISLAM Sains atau mu’alam (bahasa Inggris : natural science ) adalah istilah yang di...