‘AM DAN KHASH
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu: Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.Ag
Disusun
oleh :
Sani
Atuzzulfa (1604026016)
Lutfiana
Suci Istiqomah (1604026006)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan
dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh. Ushul Fiqh merupakan ilmu yang
mempelajari tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman umat Islam dalam
menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui
dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui
nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah
Ushul Fiqh yang penting untuk diketahui adalah istinbath dari segi kebahasaan,
salah satunya yaitu lafadz ‘am dan lafadz khash. Oleh karena itu,
untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang lafadz ‘am dan lafadz
khash, makalah ini akan membahas lafadz-lafadz tersebut secara lebih
mendalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian ‘am?
2.
Apa
saja lafadz-lafadz yang menunjukkan makna ‘am?
3.
Apa
Pengertian khash?
4.
Apa
saja pembagian mukhasis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Am
Secara etimologis ‘am berarti mencakup dan meliputi.
Sedangkan secara terminologis (istilah) ushul fiqh yaitu :
اللفظ
المستغرق لجميع ما يصلح له بحسب وضع واحد.
“Lafadz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu
kata.”
Menurut Abdul Wahab Khallaf ’am yaitu lafadz yang
menunjukkan kepada makna lughawi yang mencakup kepada semua satuan pengertian,
yang maknanya itu sesuai tanpa pembatasan kata tertentu darinya.[1]
B.
Lafadz-Lafadz yang Menunjukkan Makna ‘Am
1.
Suatu
lafadz yang diidhafatkan kepada makrifah (المعرف بالاضافة)
Seperti
firman Allah:
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا (ابراهم 34)
“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa
menghitungnya.” (Q.S Ibrahim: 34)
Lafadz yang diidhafatkan di atas ialah نِعْمَتَ اللهِ.
2.
ال, kata sandang bila masuk kepada isim jamak baik jamak
salim , seperti firman Allah:
وَاللُه لاُيُحِبُّ اْلمُفْسِدِيْنَ (الميدة 67)
“Dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Maidah: 67)
Atau
jamak taksir, seperti:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ اْلوَالِدَانِ وَاْلاَقْرَبُوْنَ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ...(النساء :7)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian
pula...” (Q.S. an-Nisa’: 7)
Jamak
salim di atas adalah اْلمُفْسِدِيْن dan jamak
taksir adalah الرِّجَال dan النِّسَاء.
3.
Isim
mufrad yang dimasuki الselainال yang
tersebut di atas yaitu yang dinamakan ال الجنسية.
Bila
suatu kata dimasuki ال الجنسية maka setiap satuan dari kata itu masuk seluruhnya ke dalam kata
itu seperti pada firman Allah:
وَاْلعَصْرِ اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ (العصر: 2 -1)
“Demi masa sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam keadaan rugi kecuali.......... dan seterusnya.” (QS. al-‘Ashr: 1-2)
4.
Isim-isim
syarat, seperti:
a.
من, contohnya firman Allah:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة :185)
“Maka
barang siapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu.” (QS.
al-Baqarah: 185)
b.
ما, seperti:
وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍيُوَفَّ اِلَيْكُمْ (البقرة :272 )
“Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan niscaya kamu akan diberi pahalanya
dengan cukup.” }QS. al-Baqarah: 272)
c.
أيّ, seperti:
اَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلاَسْمَاءُ اْلحُسْنَي (الاسراء: 110)
"Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Ia mempunyai nama-nama yang terbaik." (QS.al-Isra’: 110)
d.
أين
اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ اْلمَوْتُ (النساء: 78)
"Di
mana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu." (QS. an-Nisa’:78)
5.
Isim-isim
maushul, seperti firman Allah:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة: 234)
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kmu
dengan meninggalkan istri-istri hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS.
al-Baqarah: 234)
6.
Isim
nakirah dimasukkan dalam gaya nafi
(negatif), nahyu (larangan) atau syarat, seperti firman Allah :
a.مَا اَنْزَلَ اللهُ عَلَي بَشَرٍ مِنْ
شَيْءٍ ( الانعام: 91)
قَالُوْا
“Mereka
berkata : Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” (QS.al-An’am: 91)
b. Firman Allah :
يَايُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا لاَيَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ (الحجرات:11 )
“Hai orang yang
beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain.” (QS. Hujurat: 11)
c. Firman Allah
:
يَايُّهَاالّذِيْنَ امَنُوْا اِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا (الحجرات
:6)
“Wahai orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti.” (QS. al Hujurat
: 6)
Isim-isim nakirah di atas adalah :
- بشر نبأ - فاسق - قوم
7.
Isim
nakirah yang diberi sifat dengan sifat umum
seperti عبد
مؤمن pada firman Allah :
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ اَعْجَبَكُمْ
(البقرة: 221)
“Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.” (QS.2 :221)
8.
Lafadz-lafadz :
a.
معشر b. معاشر c. كافة d. سائر e.
عامة
Contohnya:
a.
Firman
Allah :
يَا مَعْشَرَ اْلجِنِّ وَاْلاِنْسِ اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ
(الانعام :130)
“Hai
golongan jin dan manusia apakah tidak datang kepadamu Rasul-Rasul dari golongan
kamu sendiri.” (QS. al An’am:
130).
b.
Hadits
Rasullulah Saw :
نَحْنُ مَعَاشِرُ اْلاَنْبِيَاءِ لاَنُوْرثُ (رواه أحمد)
“Kami para nabi tidak waris-mewaris.” ( H.R. Ahmad).
c.
Firman
Allah :
وَقَاتِلُوا اْلمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ
كَافَّةً (التوبة : 36)
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.” (QS. at Taubah: 36)
d.
Sabda
Rasullullah Saw kepada Ghailan ketika ia masuk Islam bersama istri-istrinya 10
orang :
اَمْسِكْ اَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (رواه احمد والترمذي)
“Pegangi yang empat dan ceraikan selebihnya.” (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi)
e.
Seperti:
اَرْسَلَ اللَّهُ مُحَمّدًا رَسُوْلاً اِلَي النَّاسِ عَامَّةً
“Allah
mengutus Muhammad menjadi Rasul kepada ummat manusia seluruhnya.”
9.
Kata
yang di-idlafat-kan kepadanya kata كل dan جميع baik nampak dengan jelas terbaca ( لفظ)
atau tidak nampak (
معني ) karena ada tanwin
iwadl seperti :
a.
Firman
Allah :
(الطور: 21) كُلُّ اْمرِئٍ بِمَا كَسَبَ
رَهِيْنٌ
“Setiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. at Thur: 21).
b.
Seperti
:
يُكَافَأُ جَمِيْعُ النَّاجِحِيْنَ بِخَمْسِمِائَةِ اَلْفِ رُوْبِيَةٍ
“Kepada semua yang lulus diberi hadiah lima
ratus ribu rupiah.”
Atau
sesudah dijelaskan lebih dahulu siapa-siapa yang lulus lalu di beri tahu :
يُكَافَأُ جَمِيْعُ بِخَمْسِمِائَةِ اَلْفِ رُوْبِيَةٍ
10.
Lafadz
amar (perintah) yang ditujukan kepada jamak. Dalam hal ini umum dan
khususnya tergantung dengan situasi yang diperintahkan itu. Contoh :
وَاَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَاَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ
الرَّاكِعِيْنَ (البقرة: 43)
“Dan
dirikanlah olehmu shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang ruku’.” (QS. al-Baqarah:
43).
Amar ini mencakup seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi khusus untuk yang mukallaf (orang-orang yang dibebani hukum) dan
mempunyai harta sampai nisab bagi yang wajib zakat.[2]
C.
Pengertian Khash
Khash secara
etimologi artinya mengkhususkan atau menentukan. Sedangkan dalam istilah ushul
fiqh, yang dimaksud dengan khash adalah:
مَالاَ يَتَنَاوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصَاعَدًا مِنْ غَيْرِ خَصٍ
“Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.”
Jadi, lafadz khash adalah lafadz yang menunjukkan pada suatu
satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad, atau suatu jenis seperti
laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti
tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafadz lain yang
menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh
satuannya.[3]
D.
Pembagian Mukhasish
1.
Mukhasish Muttashil
Yaitu apabila makna satu dalil yang mengkhususkan berhubungan erat
atau bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Macam-macam mukhasish muttashil :
a. Pengecualian (al-istisna’)
Yaitu
pengecualian dari yang sejenis (antara mustasna dan mustasna minhu).
Contoh :
مَنْ
كَفَرَ بِااللَّهِ مِنْ بَعْدِ اِيْمَانِهِ الاَّ مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِاْلاِيْمَانِ (النحل: 106)
“Barang
siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman ( dia pasti mendapat kemurkaan
Allah ) kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam
beriman ( dia tidak berdosa ).”
(QS. an-Nahl: 106)
Jadi, antara mustasna, yaitu orang yang dipaksa kafir dan mustasna
minhu, yaitu orang yang kafir sesudah beriman adalah sejenis dan satu
urusan.
b. Syarat, seperti firman Allah:
وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذَلِكَ اِنْ اَرَادُوْا
اِصْلاَحَا (البقرة: 228)
“Dan
suami-suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa menanti itu,
jika mereka (suami dan isteri) itu menghendaki islah (perbaikan).” (QS. al-Baqarah : 228).
Dalam ayat
tersebut dikatakan, lebih berhak kembali kepada istrinya. Maksudnya adalah
dalam massa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud
islah. Lafadz yang menunjukkan pada ayat tersebut adalah “jika” ( اِنْ).
Bila syarat itu tidak ada, maka rujuk itu tidak diperbolehkan.
c. Sifat, contoh firman Allah :
وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً اَنْ يَنْكِحَ اْلمُحْصَنَاتِ اْلمُؤْمِنَاتِ
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ اْلمُؤْمِنَاتِ
“Dan
barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” (
QS. an-Nisa’: 25)
Lafadz فتيات
adalah ‘am yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan
kata sifat المؤمنات (yang beriman), maka hamba sahaya tidak beriman tidak termasuk
lagi.
d.
Sebagai
ganti keseluruhan (بَدَلُ اْلبَعْضِ مِنَ اْلكُلِّ) artinya tidak seluruhnya terkena perintah,
tetapi yang dikehendaki cukup dilaksanakan oleh sebagian saja.
Seperti firman Allah :
وَلِلَّهِ عَلَي النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ
سَبِيْلاً (ال عمران: 97)
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
(QS. Ali ‘Imran: 97)
Yang menjadi
badal (pengganti) ialah “orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”,
sedangkan yang kull ( keseluruhan manusia) ialah siapapun juga para mukallaf.
e.
Kesudahan/hingga
batas waktu atau tempat (الغاية) ialah
penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang
disebut sebelumnya, sedangkan yang disebut sesudahnya tidak terdapat hukum
tersebut. Lafadz ghayah ada kalanya dipakai hatta (حتي)
artinya sehingga, atau ilaa ( (الي
yang artinya sampai. Contoh :
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّي نَبْعَثَ رَسُوْلاً (الاسراء: 15)
“Dan
kami tidak akan mengadzab (menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul.” ( QS. al-Isra’: 15)
Contoh lain:
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَي الصَّلاَةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَي اْلمَرَافِقِ (الميدة: 6)
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku ....” (QS. al-Maidah: 6)[4]
2.
Mukhasis munfashil
Mukhasis munfasil adalah dalil umum atau makna dalil yang sama dengan dalil atau
makna dalil yang megkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak
berkumpul tetapi terpisah. Mukhasis munfashil ada beberapa macam :
a.
Al-Qur’an
ditakhsis dengan al-Qur’an, contoh:
وَالَّذِيْنَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة:234)
“Dan mereka yang meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan
istri-istrinya, maka mereka menunggu/menahan diri selama empat bulan sepuluh
hari.” (QS.al-Baqarah:234)
Ayat tersebut umum, yaitu tercakup istri-istri yang tidak hamil
juga orang hamil. Maka, datang ayat lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil
yang berbunyi:
وَأُولاَتُ اْلاَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
(الطلاق: 4)
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. at-Talaq: 4)
b.
Al-Qur’an
ditakhsis dengan Sunnah, contoh:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu yang selain itu.” (QS.an-Nisaa’:24)
Ayat ini dikhususkan dengan sabda Rasulullah SAW:
لاَتُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ عَلَي عَمَّتِهَا
“Perempuan tidak boleh dinikahi bersama dengan
bibinya dari saudara ayah dan bibinya dari saudara ibu.”
c.
Sunnah
ditakhsis dengan Al-Qur’an, contoh:
لَايَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّي
يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima sholat seorang diantara kamu bila masih
berhadas hingga berwudlu.” (HR. Bukhari
& Muslim)
Hadits
tersebut adalah umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air,
kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi:
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam keadaan musafir/datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih.” (QS. al-Maidah: 6)
d.
Sunnah
ditakhsis dengan Sunnah, contoh:
فيما سقت السماء العشر (رواه البخري والمسلم)
“Tumbuh-tumbuhan yang disirami air hujan, (zakatnya)
seper sepuluh.”
Dikhususkan dengan hadits:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة (رواه البخري)
“Tidak wajib sedekah (zakat) pada barang yang kurang dari lima wasaq”.
e. Qur’an atau Sunnah dengan Qiyas, contoh:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ
.... الأية (النور: 2 )
Dikhususkan dengan ayat
QS. an-Nisa’: 25
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ
مَا عَلَي اْلمُحْصَنَاتِ مِنَ اْلعَذَابِ....الاية (النساء: 25)
Dari ayat tersebut, kemudian hamba sahaya laki-laki diqiyaskan kepada hamba
sahaya perempuan, karena sama-sama hamba. Dengan demikian, hukuman bagi hamba
sahaya laki-laki yang berzina adalah 50 kali dera (separuh dari hukuman yang
wajib atas laki-laki merdeka).[5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Lafadz ‘am
adalah lafadz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu kata.
Lafadz-Lafadz yang menunjukkan makna ‘am meliputi المعرف بالاضافة, ال yang masuk dalam isim jamak, ال الجنسية yang masuk pada isim mufrad ,isim syarat, isim maushul,
isim nakirah yang dimasukkan dalam gaya nafi,nahyu, atau syarat, isim nakirah
yang diberi sifat umum, lafadz-lafadz معشر معاشر , , كافة, سائر, عامة, kata
yang diidhofatkan kepada كل dan جمع, dan lafadz-lafadz amar.
Sedangkan khas adalah sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua
atau lebih tanpa batas. Mukhasis dibagi menjadi dua, yaitu mukhasis muttashil
dan mukhasis munfashil. Mukhasis muttashil terdiri dari istitsna muttashil,
badal min kul, kata sifat, syarat dan ghayah. Sedangkan mukhasis munfashil terdiri
dari takhsis al-Qur’an dengan al-Quran, al-Quran dengan Sunnah, Sunnah dengan
Sunnah, Sunnah dengan al-Qur’an, dan takhsis dengan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Mu’in, A, dkk, 1986,
Ushul Fiqh II, Jakarta: t.p.
Muhammad
al-Khudhari Biek, Shaikh, 2007, Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani.
Mardani,
2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
[2] A. Mu’in, dkk,
Ushul Fiqh II, Jakarta: t.p, 1986, h. 8-15.
[3] Ibid., h. 6.
[4]
Ibid., h.
17-20.
[5] Syaikh
Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, h.
408-417.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar